Sering Vs Lama
Lama waktu belajar seseorang
berpengaruh besar terhadap banyak sedikitnya ilmu yang diperoleh seseorang. Namun
dalam mempelajari bahasa durasi belajar bukanlah satusatunya penentu
keberhasilan menguasai bahasa tersebut. Terkadang kita dapati beberapa murid di
pesantren lebih lancar dan fasih berbicara bahasa arab dibandingkan ustadznya,
di kampus ada mahasiswa yang lebih indah caranya bertutur kata dalam bahasa
arab dibanding dosennya, meski dosennya mungkin telah belajar bahasa arab
sampai meraih gelar doktoral di luar negri yang kampusnya berbahasa arab, dan
yang lebih dahsyat lagi terkadang dosen native speaker keliru memahami suatu
kata yang bisa dipahami dengan mudah oleh mahasiswanya.
Lalu
pertanyaannya, apakah yang kiranya menjadi pembeda hasil belajar bahasa antara
satu orang pembelajar dengan yang lain? Salah satu sebabnya adalah karena frekwensi
lebih berpengaruh daripada durasi. Bisa jadi pada ijazah seseorang
tertulis bahwa dia memperoleh ijazah tersebut setelah mengikuti pembelajaran
bahasa arab selama empat tahun, tapi kalau ditelusuri dalam satu tahun itu
setiap bulannya dia hanya belajar empat hari (weekend). Tipe pembelajar seperti
ini mungkin saja bisa dikalahkan oleh anak sma di pesantren dalam waktu satu
atau dua tahun, karena pembelajar di pesantren 6 hari dalam sepekan dia belajar
dan mempraktekkan bahasa arab.
Bisa
kita lihat juga ulama-ulama terdahulu yang ilmu bahasa arabnya tak diragukan
banyak juga yang berasal dari luar arab. Salah satunya adalah Imam Sibawaih
yang berasal dari Persia (Iran). Beliau dan Imam Al-Kisaiy mempelajari bahasa
arab dari guru yang sama yakni Imam Kholil ibn Ahmad Al-Farohidiy. Meski secara
asal Imam Sibawaih bukanlah seorang Native Speaker bahasa arab namun
beliau berhasil membuktikan bahwa beliau bisa mengalahkan teman sekelasnya yang
merupakan penutur asli bahasa arab dan tinggal sudah lebih lama di lingkungan
berbahasa arab. Bahkan dikisahkan bahwa Imam sibawaih bisa mengalahkan grurunya
Imam Kholil ibn Ahmad Al-Farohidi.
Suatu
ketika Imam Sibawaih berselisih pendapat dengan gurunya tentang Isim Ma’rifat
yang paling menunjukkan pada kejelasan, dimana sang guru berpendapat bahwa
yang paling ma’rifat adalah isim dhomir (kata ganti), sedangkan sang murid
berpendapat bahwa yang paling ma’rifat adalah ‘alam (nama). Maka pada suatu
malam Imam sibawaih berkunjung ke rumah gurunya, lalu diketuklah pintu rumah
sang guru,
seketika sang guru
bertanya: Siapa di luar?”,
Imam Sibawaih menjawab: “Saya”
Imam Kholil: “Saya siapa?”
disaat itulah Imam Sibawaih berhasil
menunjukkan bahwa العَلَمُ (nama) lebih mudah diketahui daripada (الضَّمِيْرُ) kata
ganti. Diriwayatkan pula bahwa Imam Sibawaih membuat cemburu gurunya dimana pada
akhirnya teman-teman sekelas Imam Sibawaih lebih banyak belajar kepada Imam Sibawaih
daripada belajar kepada Imam Kholil sang guru.
Adapun
Imam Al-Kisai kemudian terkenal sebagai pakar bahasa di daerah Kufah dan punya
banyak murid, sedangkan Imam Sibawaih terkenal sebagai pakar bahasa di Bashroh.
Suatu hari Imam Al-Kisai mengajak murid-muridnya mendatangi Imam Sibawaih untuk
menunjukkan bahwa Imam Al-Kisailah pakar bahasa sesungguhnya, dan Imam Sibawaih
adalah orang persi yang tidak tau apa-apa tentang bahasa arab. Singkat cerita
sampailah rombongan Imam Al-kisai di rumah Imam Sibawaih, saat diketuk pintu
rumahnya ternyata yang membukanya adalah seorng anak perempuan (ada perbedaan
riwayat apakah anak perempuan itu putri Imam Sibawaih atau pembantunya). Saat ditanya:
Nak, dimana ayahmu? Maka si anak menjawab:
أَبِيْ فَاءَ إِلَى الْفَيَافِيْ لِيَفِيْئَ إِلِيْنَا بِفِيْءٍ،
فَإِنْ فَاءَ الظِلُّ فَاءَ
“Ayahku telah pergi ke gurun pasir agar dia kembali kepada kami
dengan membawa nafkah, kalau matahari telah tergelincir maka biasanya beliau
sudah kembali ke rumah.”
((Kata فاء – يفيء adalah satu kata yang memiliki dua makna
berlawanan –bisa bermakna pergi dan juga pulang- seperti kata عسعس dalam Al-Qur’an.))
Mendengar jawaban seperti itu Imam
Al-kisai pun mengajak murid-muridnya pulang, maka para muridpun heran; “Wahai
guru, mengapa tidak kita tunggu saja sampai Imam Sibawaih pulang?”, beliaupun
menjawab, “Ini baru jawaban putrinya, bagaimana nanti bapaknya??”.
Maka
jangan terlena dengan lamanya waktu belajar, tapi utamakanlah ketekunan belajar
dan mempraktekan bahasa setiap hari, bagaimana cara latihannya? Bisa dilihat di
postingan kami sebelumnya tentang “Menghapal Kosa Kata”.
Imam
Asy-Syafi’I berpesan:
بِقَدْرِ الْكَدِّ تُكْتَسَبُ الْمَعَالِيْ، وَمَنْ طَلَبَ الْعُلَا
سَهِرَ اللَّيَالِيْ
وَمَنْ رَامَ الْعُلَا مِنْ غَيْرِ كَدِّ، أَضَاعَ الْعُمْرَ فِيْ
طَلَبِ الْمُحَالِ
تَرُوْمُ الْعِزَّ ثُمَّ تَنَامُ لَيْلًا، يَغُوْصُ الْبَحْرَ مَنْ
طَلَبَ اللَآلِيْ
Kemuliaan diperoleh sebatas kadar
kesungguhan, dan siapapun yang mendambakan kemuliaan dia pasti mengurangi tidur
di malam hari.
Siapapun yang menginginkan kemuliaan
tanpa mau bersusah payah, maka sesungguhnya dia telah menyia-nyiakan umurnya
untuk mencari sesuatu yang mustahil ditemukan.
Kau mendamba kemuliaan dan sepanjang
malammu diisi dengan tidur, sungguh orang yang menginginkan permata itu harus
rela menyelami samuda.
Komentar
Posting Komentar