Percakapan atau Nahwu-shorof dulu?
Manakah yang harus didahulukan ketika mempelajari bahasa
arab? Haruskah memulai dari belajar percakapan (Muhadatsah) atau dimulai dari belajar kaidah (nahwu dan
shorof)? Jawaban dari pertanyaan ini kembali kepada keyakinan guru anda
masing-masing :)
Nahwu-shorof seringkali dipandang akan menjadi penghambat
seseorang untuk berbicara, sedangkan bahasa seseorang bisa berkembang karena
seringnya dia berinteraksi dengan orang lain; mendengar kosakata baru,
memahaminya, dan mencoba mengucapkan kata tersebut sebagaimana anak kecil
mempelajari suatu bahasa (dan ini disebut sebagai metode paling modern dalam
mempelajari bahasa menurut Dr. Sulaiman Ar-Rays).
Kalau kita lihat dari sejarahnya; nahwu dimunculkan untuk
menjaga lisan dari kesalahan dalam berbicara dan menulis. Lalu apa yang ingin
kita perbaiki dengan nahwu-shorof kita kalau kita sendiri belum tahu apa yang
hendak diucapkan dan ditulis? Tidakkah kita melihat bahwa bahwa teman-teman
kita yang belajar bahsa inggris mereka terlebih dahulu belajar conversation dan
mengesampingkan grammar?
Pecinta Nahwu-Shorof akan memandang bahwa mereka yang
menutup mata dari nahwu-shorof biasanya bahasa arab mereka berantakan, banyak
kata dan tulisan mereka yang tak beraturan. Dan jika dilihat dari sisi
penggunaan; maka kita akan dapati bahwa dalam keseharian kita akan lebih banyak
bercakap-cakap memakai bahsa Indonesia dibandingkan dengan bercakap-cakap
dengan bahasa arab; maka bahasa yang kita pelajari akan hilang tergerus oleh
waktu karena jarang dipraktekkan.
Secara teori kita mengenal kaidah bahwa mengajarkan suatu
bahasa harus memakai bahasa tersebut, namun pada prakteknya banyak murid yang berkata;
"Na'am, Fahimnaa" di kelas berbahasa arab yang sebetulnya kurang
mengerti apa yang diterangkan oleh sang guru dengan bahasa arab. Temuan ini
yang terkadang membuat guru bahasa arab dari Indonesia merasa bahwa mengajarkan
Nahwu-Shorof di awal lebih mudah dan bermanfaat dibanding mengajarkan
percakapan.
Buku ajar untuk bahasa arab bagi orang Indonesia tentunya
berbeda dengan buku ajar bahasa arab untuk bangsa arab. Menurut DR. Ali
Muhammad Al-Qosimiy hingga tahun 1979 belum ada buku yang benar-benar sesuai
untuk dipakai sebagai acuan pengajaran bahasa arab kepada negri-negri di luar
arab terutama di benua Afrika dan Asia[1].
Dan rasanya tidak berlebihan bila kami katakan bahwa hingga sekarangpun
belum ada buku pengajaran bahasa arab untuk non penutur yang benar-benar cocok
untuk pembelajar bahasa arab di Indonesia.
DR. Thahir Ath-Thayyib pernah menyampaikan kepada kami
bahwa meskipun buku Arobiyyah Baina Yadaik sudah cukup bagus untuk mengajarkan
percakapan dan kepada non arab ('ajam) namun buku tersebut dalam beberapa hal
kurang sesuai dengan adat dan wawasan berbahasa orang Indonesia, danbeliau
berharap suatu saat bisa menulis buku pengajaran bahsa arab untuk non arab yang
secara spesifik ditujukan untuk pembelajar Indonesia. (Semoga bisa segera terrealisasi)
Penulis sendiri memandang perlunya percakapan dan sebagian
kaidah Nahwu-Shorof diajarkan secara bersamaan, mungkin untuk percakapan
sementara waktu bisa mengandalkan kitabالعربية
بين يديك atau program العربية التفاعلية (Interactive
Arabic) sedangkan untuk Nahwu-Shorof sendiri mungkin perlu dibuatkan kitab baru
yang sederhana tanpa harus mengacu kepada susunan Ajurrumiyyah, Mulakhos Qowa'idil
Lughoh atau An-Nahwul Wadih, tapi mungkin dibuat pengenalan tentang
istilah-istilah seperti: isim dan macam-macamnya, Fi'il dan macam-nya, Huruf
dan jenis-nya. Juga dikenalkan tentang istilah-istilah nahwu dasar seperti:
jumlah ismiyyah dan jumlah fi'liyyah, fi'il fa'il dan naibul fa'il, serta
mubtada' dan khobar lalu dikenalkan dengan kaana & innaa serta
kawan-kawannya yang sering dipakai saja. Dan dikenalkan juga shorof dasar
berupa tashrif lughowi dan istilahiy untuk fi'il shohih.
###Pandai bercakap memang menjadi standarisasi yang paling nampak dari penguasaan bahasa arab seseorang, namun kepandaian itu menjadi hambar dan pudar bila tak dibarengi keselamatan harokat dan struktur.
Komentar
Posting Komentar